Thursday, June 17, 2010

Dua Batang Magasin Uzi di Tanganku



Friday, 11 June 2010 05:44
Dua benda yang kini berada di genggamanku, dua batang magasin Uzi. Kulihat lebih cermat, ini adalah peluru-peluru tajam milik tentara Israel

oleh: Dzikrullah W Pramudya


Hidayatullah. com--SEKITAR jam 11 malam, Ahad, 30 Mei, saya melihat ada dua lampu kapal misterius membayangi 6 kapal misi kemanusiaan Freedom Flotilla yang menuju Gaza yang sedang diembargo Israel dan Amerika Serikat. Konvoi ini membawa sekitar 10 ribu ton bantuan kemanusiaan dan sekitar 600 orang relawan, terdiri dari anggota parlemen dari 12 negara Asia dan Eropa, dokter-dokter, wartawan, dan aktivis kemanusiaan dari lebih 50 negara.

Hanya lampunya saja yang terlihat dari kedua kapal misterius tadi, bentuknya sama sekali tidak terlihat. Laut gelap dan berkabut. Kedua kapal itu seperti sengaja menghindari cahaya bulan yang baru saja selesai purnama di sebelah kiri haluan Mavi Marmara, kapal utama konvoi itu.

Yasmin, kawanku relawan asal Macedonia, berusaha memperjelas pandangannya dengan binokular di atas teras dek 4. "Itu kapal-kapal Israel," gumamnya. Bahkan di saat ancaman Israel sudah senyata itu, ditambah berbagai ancamannya selama seminggu terakhir ini, saya masih berusaha percaya Israel hanya akan menghadang dan memeriksa kami. Lalu terjadi negosiasi. Lalu kami harus berkompromi, mungkin hanya sebagian kapal yang boleh masuk Gaza, mungkin waktunya dibatasi. Tidak terbayang mereka akan membajak dan membantai kami di perairan internasional, yang kemudian berdarah-darah itu.

Rupanya saya terlalu naif. Pagi harinya, tentara komando Israel bahkan sengaja menyerang kami saat sedang melaksanakan solat subuh berjamaah di teras dek 4 buritan kapal. Jam 4.15, solat itu bubar sebelum seorangpun sempat berdoa.

Rentetan senjata otomatis atau semi-otomatis bersahutan mencari mangsa. Lama-kelamaan, dari suaranya saat menabrak dinding kapal Anda bisa membedakan, mana yang peluru karet mana yang metal. Tadinya saya masih mondar mandir mengambil sebanyak mungkin gambar dengan kamera. Sesudah menyadari ada laser pointers yang bergerak mencari sasaran di dinding kapal, nyali saya jadi agak ciut. Granat suara dan gas air mata sudah berdentum-dentum.

Bintang David

Tiba-tiba gemuruh suara helikopter dan angin kencang bertiup dari atas. Mesin pembunuh itu sebesar kepala truk trailer, berwarna cokelat muda dan hijau tua. Ada logo bintang david hitam di lambungnya. Di kanan kirinya nampak jelas helikopter itu menenteng sepasang rudal, mungkin masing-masing berukuran lebih dari 100 kg. Rudal yang disiapkan melawan para relawan kemanusiaan.

Seutas tali hitam nampak diturunkan, satu dua orang tentara komando meluncur ke atap Mavi Marmara di dek 6. Keberanian saya muncul lagi. Saya segera menaiki tangga. Rentetan tembakan terdengar lagi. Saya merunduk. Saya bergerak lagi bersama beberapa orang di depan saya. Rentetan tembakan mendekat lagi.

Beberapa orang nampak saling pukul dan saling mendorong di pinggir atap kapal. Sampai satu ketika seorang tentara komando Israel berhasil diringkus dan dilucuti, lalu diseret ke dek 5. Karena di depan saya banyak orang, saya memutuskan turun dan masuk ke kabin untuk mendekati tentara yang tertangkap itu dari dalam, melalui lobi di depan press room.

Di lobi sempit itu saya dapati seorang relawan sudah terkapar berdarah-darah. Usianya mendekati 50 tahun. Beberapa perawat berusaha menolongnya. Saya memotretnya beberapa kali. Dalam waktu beberapa detik, dua korban lain yang juga berdarah-darah masuk. Di lantai atas, di dek 5 bagian dalam, terdengar suara sangat gaduh. Mungkin tentara tadi sedang dipukuli. Saya mengabaikan, karena harus berlari ke press room untuk mengirim foto korban pertama yang saya lihat itu lewat e-mail, sebelum internet terputus. Kekhawatiran saya benar. Jaringan internet sudah diputus.

Senyum

Saya kemudian saling berpandangan dengan Santi, yang selama hampir 11 tahun ini menjadi istri dan sahabat terbaik saya, kami saling bersalaman, berpelukan, dan saling minta maaf. Di wajahnya sama sekali tidak ada tanda-tanda cemas, malah tersenyum. Senyumnya damai sekali, saya sempat berpikir, "Jangan-jangan dia akan syahidah duluan meninggalkan saya."

Kami lalu bersepakat untuk selalu berdekatan dan menyepakati titik pertemuan jika terpisah, serta menyiapkan rencana menyembunyikan semua jenis rekaman, baik itu memory card maupun film-film video dari teman-teman jurnalis TV Indonesia. Kelak semuanya dirampas tentara Israel tak bersisa.

Sejak itu saya menjalankan rutin gerak cepat: bergerak keluar, mengambil gambar-gambar, lalu masuk lagi berteriak-teriak mencari Santi jika dia tak nampak di titik yang kami sepakati. Sesudah bertemu, bergerak lagi keluar. Begitu seterusnya. Suasana sudah begitu kalang kabut dan mencekam.

Tentara Israel Tertangkap

Saya naik ke atas untuk menyaksikan tentara Israel yang tertangkap. Terdengar suara teriakan, "Jangan pukul! Jangan pukul!" Kulihat sekilas Adam, wartawan yang juga aktivis IHH (organisasi kemanusiaan terbesar di Turki yang mengkordinasi konvoi ini), berkaus hijau gelap, berusaha sekuat tenaga menghentikan aktivis lain yang memukuli kedua tentara itu. Suara teriakan lain tak kalah kerasnya, "Bunuh! Bunuh! Bunuh mereka!"

Langkahku terhalang beberapa orang di ujung atas tangga. Tiba-tiba seorang laki-laki berjenggot setengah baya dari arah atas menyodorkan dua batang logam ke hadapanku. Secara reflek saya menyambutnya. Namun saya langsung tercenung menyadari dua benda yang kini berada di genggamanku, dua batang magasin Uzi. Kulihat lebih cermat, peluru-peluru tajamnya masih penuh. Saya tak habis pikir, kenapa pria itu menyerahkan kepadaku.

Dua Magasin

Segera saya turun dan mencari-cari aktivis IHH yang saya kenal. Sebenarnya saya mencari Cihad Gokdemir, sahabatku pengacara IHH, dengan harapan kelak kedua benda itu bisa jadi barang bukti kejahatan Israel. Tapi akhirnya saya memilih seorang pria berkumis yang selalu ramah bercakap-cakap denganku sebelum penyerangan. Dia sedang menolong seorang korban. Saya tak tahu apa jabatannya, dia seorang pengurus IHH, kuserahkan kepadanya. Lalu dia menghilang.

Belakangan setelah kapal berhasil dikuasai tentara komando Israel, aku melaporkan kepada salah seorang petinggi IHH yang kukenal baik, perihal kedua benda itu. Dia minta dipertemukan dengan orang yang tadi kutitipi. Setelah berhasil menemukannya, keduanya bercakap-cakap, lalu petinggi IHH itu menepuk pundakku dan menenangkan, "OK, everything is fine. They're safe."

Dari teras dek 4 itu sebelah kanan, beberapa orang berusaha menyemprot speedboat komando Israel yang mendekat dengan air pemadam api. Air tidak keluar kecuali sebentar, melemah lalu berhenti. Terdengar keluhan frustrasi. Saya jadi ingat, malam tadi memang ada orang yang berusaha memperbaiki selang-selang itu. Tapi saya lihat semprotan airnya lemah. Tidak cukup untuk menghalau speedboat tentara komando.

Gagal menggunakan semprotan, mereka yang berdiri di pagar kapal segera melemparkan apa saja yang ada di dekatnya ke arah speedboat Israel. Botol, buah, kursi, sampah, tong sampah, apa saja yang bisa diraih. Mereka melakukannya sambir bertakbir,
"Allahu Akbar! Allahu Akbar...!"

Terakhir kali aku masuk kembali ke kabin di dek 3, lobi di depan ruang informasi itu sudah seperti ruang gawat darurat di rumah sakit, hanya saja sangat berantakan. Darah berceceran di sana. Korban mendesis-desis dan menyebut nama Allah, menahan sakit dari luka-luka tembak dan tulang yang patah. Tiga orang sedang sekarat, dibantu pernafasan dan pompa jantungnya.

Teman Indonesia Tertembak


Seseorang memekik ke arahku, memberi tahu dua kawan Indonesia kena tembak. Alhamdulillah keduanya sedang ditolong dokter-dokter. Okvianto patah tangan kanannya dihajar peluru. Kata dr Arief, relawan MER-C, tulangnya sampai terlihat, "Alhamdulillah urat nadinya tidak putus." Mukanya agak pucat, tapi terlihat tenang dan bisa tersenyum. Setelah memberinya minum dan menemaninya sebentar, aku berkeliling menghitung korban lain. Ada lebih dari 35 orang dengan berbagai jenis luka.

Surya tergeletak lemah di dekat tangga lobi dek 3. Mukanya pucat seperti seprei. Nafasnya terengah-engah, tapi seseorang segera memasangkan masker oksigen di mukanya. Seorang dokter India memintaku membantunya menggunting semua pakaian Surya. Ada satu titik lubang peluru di dadanya, tapi belum di temukan di mana keluarnya. Berarti peluru itu masih di tubuhnya. Dokter Ruba'i dari Malaysia berusaha memasang infus di lengan Surya. Ada Abdillah dari MER-C dan terlalu banyak orang yang mengerumuni Surya. Udara pengap. Saya mundur.

Saya baru sadar, mana kawan Indonesia dan Malaysia yang lain? Sejak di Antalya, kami bersepakat untuk menjadi satu delegasi Indonesia-Malaysia. Ada 12 relawan Indonesia, 11 Malaysia. Sejak berlayar kami selalu bersama. Tidur, makan, solat, membaca Al-Quran, mengundang ulama untuk memberi nasihat, berdiskusi, selalu bersama.

Sejak dua malam sebelum penyerangan, semua lelaki dari kedua negara ini, kecuali dokter dan wartawan, mendapatkan tugas berjaga di haluan kiri kapal. Semuanya berpelampung. Dini hari tadi sehabis solat tahajjud, saya dan Santi sempat berkeliling dan mengunjungi mereka di tempat mereka berjaga-jaga. Tapi pagi setelah penyerangan itu 3 orang Indonesia, dan 7 dari Malaysia tak berhasil saya temukan. Saya mulai khawatir. Terdengar pengumuman kapal dan anjungan kapten sudah dikuasai tentara komando Israel.

Huseyin Oruc, Wakil Presiden IHH, yang kulapori tentang mereka berusaha menenangkan saya. "Di atas ada puluhan relawan yang sudah ditangkap tentara Israel. Mereka baik-baik saja insya Allah," katanya. Saya mengerti, tapi masih risau. Lalu mendoakan mereka, minta kepada Allah, kalau masih hidup agar dilindungi secara sempurna. Bila sudah mati agar diterima syahidnya.

Para Syuhada

Saya duduk lama di depan 4 jenazah relawan Turki yang dibungkus selimut, bendera Palestina dan bendera laa ilaaha illallah. Salah satunya berkenalan dan bersahabat dengan saya beberapa hari sebelumnya. Jaudat, lelaki Turki 30 tahunan, murah senyum dan selalu siap menolong. Ia penanggung jawab teknis press room. Di antara kedua matanya ada lubang hitam sebesar diameter pensil. Itulah lubang masuk peluru yang menembus otaknya. Bagian bawah kepalanya masih meneteskan darah. Kata seseorang dia ditembak saat memotret tentara yang turun dari helikopter.

Tak lama kemudian Mavi Marmara betul-betul dikuasai tentara Israel. Kami semua digeledah, diborgol, dijemur di bawah matahari, dipaksa duduk, dibentak-bentak, dilarang solat berdiri, ada yang dilarang ke toilet, sebagian kencing di botol-botol plastik, ada yang ditendang dan dipukul. Sesampainya di pelabuhan Ashdod diperiksa kesehatan lalu diinterogasi.

Gaza di Mavi Marmara

Dokternya memeriksa keadaan fisik dan kesehatan saya. Saya bertanya, "Kenapa ya Anda semua bekerja keras memeriksa kesehatan kami, padahal baru saja kalian membunuhi teman-teman kami?" Dokter dan perawat itu sempat tercenung, tapi lalu meneruskan kesibukannya menulis.

Di meja lain, saya dipaksa menandatangan dokumen pengakuan bahwa kami memasuki Israel secara ilegal. Saya menolak. Dalam hati saya menahan tawa. Sebuah humor hitam. Israel sendiri ilegal, didirikan di atas tanah Palestina yang dirampas dengan cara teror dan tipu muslihat selama 63 tahun. Sekarang mereka menuduh kami, yang sedang berlayar di perairan internasional, yang mereka culik dan paksa masuk ke pelabuhan mereka, sebagai pendatang ilegal.

Saat diborgol dan dijemur di teras kapal di bawah matahari, saya merenung, kita semua berniat pergi ke Gaza untuk membantu rakyat Gaza. Nah, sekarang Allah hadirkan 'Gaza' ke kapal kita, karena apa yang kita alami dalam beberapa puluh jam ini adalah yang dialami rakyat Gaza selama 3 tahun lebih diembargo, dan 63 tahun lebih dijajah Israel.* []

Dua Batang Magasin Uzi di Tanganku Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Rumah Minimalis

0 komentar: